عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَنْكِبِي فَقَالَ كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ
غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَقُولُ إِذَا أَمْسَيْتَ
فَلَا تَنْتَظِرْ الصَّبَاحَ وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلَا تَنْتَظِرْ الْمَسَاءَ
وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ
Dari Ibnu Umar Radhiallahu Anhuma, ia berkata: “Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wasallam memegang pundakku, lalu bersabda: Jadilah engkau di
dunia ini seakan-akan sebagai orang asing atau pengembara. Lalu Ibnu Umar
Radhiallahu Anhuma berkata: “Jika engkau di waktu sore, maka janganlah engkau
menunggu pagi dan jika engkau di waktu pagi, maka janganlah menunggu sore dan
pergunakanlah waktu sehatmu sebelum kamu sakit dan waktu hidupmu sebelum kamu
mati”. (HR. Bukhari, Kitab Ar
Riqaq)
Hadits di atas mengajarkan kepada kita bahwa dalam hidup
ini kita harus menjadi manusia-manusia yang disiplin. Oleh karenanya kita
dapati banyak ayat alquran dimana Allah Subhanahu Wa Ta’ala bersumpah dengan
waktu. Seperti firman-Nya,
وَالشَّمْسُ تَجْرِي
لِمُسْتَقَرٍّ لَّهَا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ (يس: 38)
“Dan matahari berjalan di tempat peredarannya.
Demikianlah ketetapan yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui”. (Yasin: 38)
Ayat yang mulia ini telah dijelaskan oleh Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wasallam kepada Abu Dzar Radhiallahu Anhu:
يا أبا ذر أتدري ما
مستقرها ؟ فقال أبو ذر : الله ورسوله أعلم . قال صلى الله عليه وسلم : مستقرها
أنها تسجد تحت عرش ربها عز وجل ذاهبة وآيبة بأمره سبحانه وتعالى
“Wahai Abu Dzar, tahukah engkau apa mustaqarr (tempat
peredaran) nya?” Abu Dzar menjawab, “Allah dan RasulNya yang lebih tahu.”
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “tempat peredarannya yaitu
bahwasannya matahari bersujud di bawah ‘arsy Rabbnya ‘Azza wa Jalla, pergi dan
kembali dengan perintahNya Subhanahu wa Ta’ala. (HR. Bukhari,
Muslim dan lainnya)
Yaitu sujud yang hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala yang
mengetahui caranya. Semua makhluk bersujud dan bertasbih kepada Allah Jalla wa
‘Ala dengan cara yang hanya diketahui oleh-Nya. Adapun kita tidaklah mengetahui
dan tidak pula memahaminya.
Matahari berjalan sesuai dengan perintah Allah, terbit
dari arah timur dan terbenam di arah barat sampai masa yang ditentuka. Ketika
sudah mendekati hari kiamat maka matahari akan terbit dari tempat terbenamnya,
dan itulah salah satu tanda besar hari kiamat sebagaimana telah mutawatir
hadits-hadits dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasalla tentangnya. Apabila
telah habis alam ini dan tiba hari kiamat maka matahari pun digulung.
Begitu juga dengan perjalanan bulan, ia berjalan di tempatnya
sesuai dengan perintah Allah Ta’ala.
وَالْقَمَرَ
قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ حَتَّى عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ (يس: 39)
“Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah
(1267), sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia
sebagai bentuk tandan yang tua”. (Yasin: 39)
[1267] Maksudnya: bulan-bulan itu pada Awal bulan, kecil
berbentuk sabit, Kemudian sesudah menempati manzilah-manzilah, dia menjadi
purnama, Kemudian pada manzilah terakhir kelihatan seperti tandan kering yang
melengkung.
Perjalanan matahari dan bulan tidak pernah beradu. Maka
jika terjadi gerhana bulan atau matahari, ada perintah Rasulullah untuk
menyikapinya.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ
قَالَ : خَسَفَتْ الشَّمْسُ فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ فَحَكَى ابْنُ عَبَّاسٍ أَنَّ
صَلَاتَهُ رَكْعَتَانِ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ رُكُوعَانِ ثُمَّ خَطَبَهُمْ ، فَقَالَ
إنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَا يَخْسِفَانِ
لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَافْزَعُوا إلَى
ذِكْرِ اللَّهِ
Dari Abdullah bin Abbas, bahwa pada suatu hari terjadi
gerhana matahari. Lalu Rasulullah berdiri untuk mengerjakan sholat. Kemudian
Ibnu Abbas bercerita bahwa shalat beliau adalah 2 rakaat, di dalam satu rakaat
dua kali rukuk, kemudian beliau Shallallahu Alaihi Wasallam memberikan khutbah
kepada para sahabat, beliau bersabda, “Sesungguhnya matahari dan bulan itu
adalah dua tanda kekuasaan Allah. Terjadinya gerhana matahari dan bulan itu
bukanlah karena kematian atau kehidupan seeorang. Maka jika engkau melihatnya,
bersegeralah untuk berdzikir kepada Allah”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Sikap yang tepat ketika terjadi fenomena gerhana ini
adalah takut, khawatir akan terjadi hari kiamat. Bukan seperti kebiasaan orang
seperti kebiasaan orang sekarang ini yang hanya ingin menyaksikan peristiwa
gerhana dengan membuat album kenangan fenomena tersebut, tanpa mau mengindahkan
tuntunan dan ajakan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam ketika itu. Siapa tahu
peristiwa ini adalah tanda datangnya bencana atau adzab, atau tanda semakin
dekatnya hari kiamat. Lihatlah yang dilakukan oleh Nabi kita Shallallahu Alaihi
Wasallam:
عَنْ أَبِى مُوسَى
قَالَ خَسَفَتِ الشَّمْسُ فِى زَمَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَامَ
فَزِعًا يَخْشَى أَنْ تَكُونَ السَّاعَةُ حَتَّى أَتَى الْمَسْجِدَ فَقَامَ يُصَلِّى
بِأَطْوَلِ قِيَامٍ وَرُكُوعٍ وَسُجُودٍ مَا رَأَيْتُهُ يَفْعَلُهُ فِى صَلاَةٍ
قَطُّ ثُمَّ قَالَ : إِنَّ هَذِهِ الآيَاتِ الَّتِى يُرْسِلُ اللَّهُ لاَ تَكُونُ
لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ وَلَكِنَّ اللَّهَ يُرْسِلُهَا يُخَوِّفُ بِهَا
عِبَادَهُ فَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْهَا شَيْئًا فَافْزَعُوا إِلَى ذِكْرِهِ
وَدُعَائِهِ وَاسْتِغْفَارِهِ
Abu Musa Al Asy’ari Radhiallahu Anhu menuturkan, ”Pernah
terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.
Nabi lantas berdiri takut karena khawatir akan terjadi hari kiamat, sehingga
beliau pun mendatangi masjid kemudian beliau mengerjakan shalat dengan berdiri,
ruku’ dan sujud yang lama. Aku belum pernah melihat beliau melakukan shalat
sedemikian rupa.”
Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam lantas bersabda, ”Sesungguhnya
ini adalah tanda-tanda kekuasaan Allah yang ditunjukkan-Nya. Gerhana tersebut
tidaklah terjadi karena kematian atau hidupnya seseorang. Akan tetapi Allah
menjadikan demikian untuk menakuti hamba-hamba-Nya. Jika kalian melihat
sebagian dari gerhana tersebut, maka bersegeralah untuk berdzikir, berdo’a dan
memohon ampun kepada Allah.” (HR. Muslim)
An Nawawi Rahimahullah menjelaskan mengenai maksud kenapa
Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam takut, khawatir terjadi hari kiamat. Beliau
rahimahullah menjelaskan dengan beberapa alasan, di antaranya:
Gerhana tersebut merupakan tanda yang muncul sebelum
tanda-tanda kiamat seperti terbitnya matahari dari barat atau keluarnya Dajjal.
Atau mungkin gerhana tersebut merupakan sebagian tanda kiamat.
Hendaknya seorang mukmin merasa takut kepada Allah,
khawatir akan tertimpa adzab-Nya. Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam saja sangat
takut ketika itu, padahal kita semua tahu bersama bahwa beliau Shallallahu
Alaihi Wasallam adalah hamba yang paling dicintai Allah.
Islam Mengajarkan
Kedisiplinan
Islam mengajarkan agar dalam hidup ini kita bersikap
disiplin, khususnya dalam hal shalat.
……
فَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَاباً
مَّوْقُوتاً (النساء: 103)
….”Maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa).
Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang
yang beriman”. (An
Nisa’: 103)
Shalat tepat waktu itu berarti solat begitu masuk
waktunya yang ditandai oleh adzan. Dengan demikian, adzan merupakan alarm, tiap
kali mendengar adzan, semestinya kita langsung menghentikan semua aktivitas dan
bergegas untuk melaksanakan shalat.
Akan tetapi, agar kita mau disiplin shalat tepat waktu,
yang pertama harus diubah adalah mindset kita terlebih dahulu. Kenapa sih harus
shalat tepat waktu?
Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam pernah menjawab
pertanyaan salah satu sahabatnya terkait dengan amalan yang utama yaitu shalat.
عَنْ أَبِي عَمْرِو
الشَّيْبَانِي -وَاسْمُهُ سَعْدُ بْنُ إِيَاس- قَالَ : حَدَّثَنِي صَاحِبُ هَذِهِ
الدَّارِ -وَأَشَارَ بِيَدِهِ إِلَى دَارِ عَبْدِ اللهِ بنِ مَسْعُوْد رضي الله
عنه قَالَ : سَأَلْتُ النَّبِيَّ : أَيُّ العَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ ؟ قَالَ :
((الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا)). قُلْتُ : ثُمَّ أَيٌّ ؟ قَالَ : ((بِرُّ الوَالِدَيْنِ)).
قُلْتُ : ثُمَّ أَيٌّ ؟ قال : ((الجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ)). قَالَ :
حَدَّثَنِي بِهِنَّ رَسُولُ اللهِ , وَلَوِ اسْتَزَدْتُهُ لَزَادَنِي. مُتَّفَقٌ
عَلَيْهِ.
Dari Abu Amr Asy-Syaibani –yang bernama Sa’d bin Iyas-,
dia berkata: telah bercerita kepada saya pemilik rumah ini –dia mengisyaratkan
dengan tangannya ke rumah Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu-, dia berkata:
Saya bertanya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam: “Amal perbuatan
apa yang paling dicintai Allah?”.Beliau menjawab: “Shalat pada waktunya”. Saya
bertanya: “Kemudian apa ?”. Beliau menjawab: “Berbakti kepada kedua orang tua”.
Saya bertanya: “Kemudian apa ?”. Beliau menjawab: “Jihad di jalan Allah”. Ibnu
Mas’ud radhiallahu’anhu berkata: “Rasulullah menyampaikan ketiganya kepada
saya, jika saya menambah pertanyaan tentangnya, niscaya beliau menjawabnya”. (Muttafaq Alaih)
Shalat merupakan persoalan pertama yang akan ditanyakan
oleh Allah Ta’ala di pengadilan akhirat kelak. Mestinya, shalat menjadi sumber
motivasi utama bagi seorang muslim untuk menjalani kehidupan. Bahkan shalat
juga bisa menjadi indikasi diri seseorang. Kalau shalat seseorang itu benar
(tepat waktu, rukun terpenuhi, khusyu’), insya Allah semua aktivitas orang itu
benar juga, tapi kalau shalatnya saja sudah bermasalah (bolong-bolong, tak
tepat waktu, wudhu sembarangan, pakaian terkena najis, nggak sampai 2 menit
sudah salam), bisa jadi aktivitasnya di luar itu juga banyak masalahnya.
Subhanallah, bahkan shalat tepat waktu bernilai lebih
tinggi dibandingkan berjihad di jalan Allah dan berbakti pada orangtua! Dengan
demikian, buat kita yang mengaku ingin berjihad alias bersungguh-sungguh dan
ingin senantiasa berbakti pada orangtua tapi ternyata sholatnya tak tepat
waktu, sama saja omong kosong (membual).
Namun ada riwayat lain dari Abu Hurairah, beliau
meriwayatkan, Rasulullah pernah ditanya tentang amal yang paling utama.
Rasulullah menjawab, “Iman kepada Allah,” (HR. Muslim)
Abu Qatadah mengatakan, ia pernah mendengar Rasulullah
menyebutkan bahwa berjihad di jalan Allah dan beriman kepada-Nya adalah amal
yang paling utama”. (HR. Tirmidzi)
Dalam penelitian Ibnu Hajar al-Asqalani Rahimahullahu
(penulis Fath al-Bari, kitab syarah Shahih al-Bukhari), ada banyak hadits yang
menunjukkan bahwa shalat lebih utama ketimbang sedekah, namun pada saat yang
sama tak sedikit hadits yang menjelaskan jika sedekah lebih utama dibanding
shalat.
Pernyataan-pernyataan berbeda dari sumber yang sama,
Rasulullah. Dan hadits-hadits tersebut sama-sama berstatus shahih. Lalu, apakah amal yang paling utama?
Dalam disiplin ilmu hadits, jika ada dua atau lebih
hadits yang redaksinya masing-masing menunjukkan makna berbeda-beda (bahkan
bertentangan)—pada tema yang sama—dan hadits-hadits tersebut sama-sama
berstatus shahih maka tindakan yang pertama dipilih adalah al-jam’u atau
kompromi makna, yaitu (diantara caranya) dengan menelaah asbab al-wurud atau
konteks hadits-hadits yang dimaksud. Metode al-jam’u memberikan kesimpulan
bahwa tiap-tiap hadits yang tampaknya saling bertentangan adalah benar menurut
asbab al-wurud masing-masing.
Maka, menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, perbedaan jawaban
Rasulullah tentang amal yang paling utama di atas lahir dari perbedaan kondisi
sahabat si penanya. Rasulullah mempertimbangkan apa sebenarnya yang dibutuhkan
si penanya; apa yang pantas dan prioritas bagi kehidupan si penanya. Dengan
begitu, jawaban Rasulullah atas setiap pertanyaan tepat sasaran, mudah
diterima, dan tidak memberatkan.
Selain pertimbangan kondisi pribadi si penanya, kondisi
sosial juga menjadi pertimbangan Rasulullah dalam menjawab pertanyaan. Pada
masa permulaan Islam, yang menjadi prioritas adalah memperjuangkan eksistensi
dan stabilitas Islam. Maka, amal yang paling utama pada masa itu adalah jihad,
menjaga dan mempertahankan diri dari segala sesuatu yang tak menghendaki
benih-benih Islam tumbuh dan berkembang. Tatkala eksistensi dan stabilitas itu
telah diraih, saat shalat dan ritual lain dijalankan tanpa rasa takut dan tiada
lagi intimidasi dari orang-orang Quraisy, maka jihad bukan lagi prioritas.
Jadi, jika kita melihat hadits-hadits di atas dari
disiplin ilmu hadits, kita akan tahu hadits-hadits itu benar dalam situasi
masing-masing, dan amal yang ditunjukkan hadits-hadits tersebut paling utama
menurut konteks masing-masing.
Hikmah
Hadits riwayat Ibnu Umar di atas kendatipun sangat
singkat jumlah katanya, tetapi maknanya sangat dalam. Rasulullah memberikan
bimbingan hidup kepada umatnya agar tidak tenggelam dalam godaan dunia. Dunia
sangat berpotensi membuat manusia lalai dan tidak menyadari bahwa tujuan
hidupnya sebagai manusia adalah beribadah kepada Allah dan beramal untuk
akhiratnya.
Rasulullah mengarahkan umatnya agar memandang dunia ini
sebagai tempat singgahan (transit) atau seperti orang yang menempuh perjalanan
panjang. Bila kita renungkan makna “orang asing” secara filosofi, dapat kita
katakan bahwa orang asing adalah orang yang tinggal sementara di suatu
tempat/negeri dalam rangka menjalankan tugasnya dan setelah itu ia akan
meninggalkan tempat tersebut apabila temponya telah usai. Begitulah orang
asing. Orang asing jelas berbeda dengan penduduk menetap. Orang yang merasa
tinggal sementara di suatu tempat, kampung, negeri, tidak akan mau disibukkan
hal-hal yang menyita waktunya. Ia akan berfikir bahwa waktunya singkat,
sementara tugasnya harus selesai tepat waktu, sehingga ia harus benar-benar
berhitung dengan waktu, supaya waktunya tidak terbuang untuk hal-hal yang tak
bermanfaat baginya.
Kalau hadits ini kita tarik pada kehidupan kita di dunia,
subhanallah, kita menyadari bahwa hidup kita selama ini telah berada pada
posisi yang salah. Kita justru merasa betah dengan kehidupan dunia, dan
membayangkan hidup ini akan berlangsung lama sekali. Oleh karenanya banyak
kegiatan yang sesungguhnya tak terlalu bermanfaat, menyibukkan kita, atau
cenderung membuang-buang waktu.
Atau seperti penyeberang di jalan. Perumpamaan inipun
sama dalamnya dengan pengertian ‘orang asing’. Penyeberang di jalan tidak akan
mau berlama-lama dalam penyeberangannya. Kalau bisa secepat mungkin ia harus
berlalu. Begitu pula umpama musafir yang beristirahat sejenak di bawah pohon
melepas lelahnya. Apakah tempat istirahat di bawah pohon berubah menjadi tempat
menetap. Tentu tidak. Seorang musafir sadar betul bahwa ia akan segera
meninggalkan tempat itu. Oleh karenanya ia tidak merencanakan untuk
berlama-lama di situ. Begitu lelahnya sudah pergi, ia kembali meneruskan
perjalanan. Begitu pulalah hidup di dunia. Manusia tida boleh disibukkan dengan
perhiasan (assesoris), dan keindahan dunia yang membuai. Karena ia tidak akan
hidup lama di dunia. Yang ia harus siapkan adalah bekal dirinya hidup di
akhirat yang abadi.
Lima Kedisiplinan
Seorang Muslim Dalam Perspektif Alquran
Pertama, Disiplin
Dalam Misi Hidup
Misi hidup seorang muslim hanyalah untuk Allah Azza Wa
Jalla
قُلْ إِنَّ صَلاَتِي
وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (الأنعام: 162)
“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan
matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”. (Al An’am: 162)
Mencari arti hidup adalah sangat penting. Siapapun yang
tidak memiliki misi hidup, hidupnya akan terombang-ambing, tidak jelas, dan
dipastikan tidak berarti. Hanya mereka yang memiliki misi hiduplah yang akan
berarti dalam hidup, berarti buat dirinya , juga buat orang lain. Manusia tanpa
misi bagaikan hewan, yang hanya hidup, karenya nyawanya ada. Hidup hewan tidak
lebih berputar sekitar lahir, makan, cari makan, seksual, melahirkan anak,
buang air ….
Manusia yang hidup tanpa misi bagaikan hewan. Inilah yang
disindir oleh Allah Ta’ala dalam Al Qur’an, mereka disebut bagaikan hewan,
bahkan lebih dari hewan. Ciri mereka: tidak mau berpikir, meskipun sudah
diberikan akal dan hati. Tidak mau menggunakan mata untuk melihat kebenaran.
Telinga seakan ditutup tidak mau mendengar kebenaran.
Persoalannya bagaimana cara manusia mencari misi
hidupnya. Logikanya, yang paling tahu untuk apa kita hidup, tentu saja yang
menciptakan kita, Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Allah-lah yang Maha Tahu, paling
mengerti untuk apa kita hidup, untuk apa Dia menciptakan kita. Adalah sangat
logis kalau kita mencari arti hidup dengan melihat firman Allah Ta’ala di Al
Qur’an.
Dengan sangat jelas, Allah Ta’ala telah menyebutkan misi
hidup utama kita adalah beribadah. Firman Allah Ta’ala:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ
وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk
menyembah-Ku..” (Adz Dzariyat: 56)
Ibnu Abbas menafsirkan ayat di atas dengan: agar mereka
(jin dan manusia) menetapi ibadah kepada-Ku. Ibn al-Jauzi menafsirkan ayat di
atas dengan: agar mereka tunduk dan merendahkan diri kepada-Ku. (Zâd al-Masîr)
Maksud ayat di atas adalah agar mereka menjadi hamba
Allah, melaksanakan hukum-Nya, dan patuh pada apa yang ditetapkan Allah kepada
mereka. (Ibn Hazm, Al-Fashl fi al-Milal
wa al-Ahwâ’ wa an-Nihal)
Inilah hakikat ibadah. Ibadah tidak lain adalah mengikuti
dan patuh, diambil dari al-‘ubûdiyyah; seseorang hanya menyembah Zat Yang ia
patuhi dan Yang dia ikuti perintah (ketentuan)-Nya”. (Ibn Hazm, al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm)
Misi hidup untuk beribadah inilah yang akan menghantarkan
seseorang pada ultimate goal seorang muslim yakni meraih ridha Allah Ta’ala.
Kerinduan puncak seorang muslim, saat Kekasih Tercintanya memanggil dengan
penuh ridha, sementara diapun ridha kepada Allah Ta’ala. Firman Allah Ta’ala:
يَاأَيَّتُهَا
النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ (27) ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً
(28) فَادْخُلِي فِي عِبَادِي (29) وَادْخُلِي جَنَّتِي
“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan
hati yang puas lagi diridhoi-Nya. Maka masuklah ke dalam jam’ah hamba-hamba-Ku,
dan masuklah ke dalam surga-Ku”. (Al Fajr: 27-30)
Misi hidup seorang muslim juga harus meninggikan
kalimat Allah Azza Wa Jalla, tidak seperti misi hidupnya orang-orang kafir.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
…..
وَالَّذِينَ كَفَرُوا يَتَمَتَّعُونَ وَيَأْكُلُونَ كَمَا تَأْكُلُ الْأَنْعَامُ
وَالنَّارُ مَثْوًى لَّهُمْ (محمد: 12)
….. “dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia)
dan mereka makan seperti makannya binatang. dan Jahannam adalah tempat tinggal
mereka”. (Muhammad:
12)
Kedua, Disiplin
Dalam Tujuan Hidup
Tujuan hidup seorang muslim adalah menjual jiwanya kepada
Allah Ta’ala demi mengharap ridha-Nya. Ridha Allah adalah dambaan setiap muslim
yang menyadari bahwa itulah harta termahal yang pantas diperebutkan oleh
manusia. Tanpa ridha Allah, hidup kita akan hampa, kering, tidak dapat
merasakan nikmat atas segala apa yang telah ada di genggaman kita, bermacam
masalah silih berganti menyertai hidup. Harta berlimpah, makanan berlebih namun
ketika tidak ada ridhaNya, semua menjadi hambar. Tidak tahu kemana tujuan
hidup, merasa bosan dengan keadaan, seolah hari berlalu begitu saja, begitu
cepat namun tanpa disertai dengan perubahan kebaikan hari demi hari. Sehingga
merasa mengapa hidup hanya begini-begini saja?
Padahal Allah Ta’ala telah menegaskan bahwa diantara
manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari ridha-Nya.
وَمِنَ النَّاسِ مَن
يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاء مَرْضَاتِ اللّهِ وَاللّهُ رَؤُوفٌ بِالْعِبَادِ
(البقرة: 207)
“Dan diantara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya
karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada
hamba-hamba-Nya”. (Al Baqarah: 207)
Ibnu Abbas Radhiallahu Anhuma dan sejumlah tabi’in
berkata, “Ayat tersebut diturunkan berkaitan dengan Shuhaib Ar-Rumi. Setelah ia
masuk Islam di Makkah dan hendak berhijrah ke Madinah, orang-orang melarangnya
berhijrah membawa harta. Tetapi akhirnya Shuhaib dapat lolos dari mereka dan
memberikan harta kekayaannya kepada mereka. Berkaitan dengan kejadian itulah
Allah menurunkan ayat ini.
Kemudian Umar bin Khaththab dan beberapa orang sahabat
menemui Shuhaib dan berkata padanya, ‘Perniagaanmu beruntung!’
Shuhaib menjawab, ‘Semoga kalian juga demikian. Apa yang
kalian maksud dengan perniagaanku beruntung?’
Maka orang-orang memberitahukannya bahwa Allah telah
menurunkan ayat yang berkaitan dengan dirinya.”
Ibnu Mardawih meriwayatkan dari Abu Ustman An-Nahdi, dari
Shuhaib, ia berkata, “Ketika aku hendak berhijrah dari Makkah untuk mengikuti
Nabi SAW, kaum Quraisy berkata kepadaku, ‘Wahai Shuhaib, dahulu kamu datang
kepada kami tanpa harta. Sekarang kamu hendak pergi sambil membawa harta? Demi
Allah, hal ini tidak boleh terjadi.’
Maka aku berkata kepada mereka, ‘Apakah kalian akan
membebaskan aku jika aku memberikan hartaku kepada kalian?’ Mereka mengiyakan.
Maka kuserahkan hartaku kepada mereka dan mereka pun
membiarkan aku pergi hingga tiba di Madinah.
Kasus itu lalu sampai kepada Nabi, maka beliau bersabda,
‘Shuhaib beruntung, Shuhaib beruntung.’
Tetapi kebanyakan ulama menafsirkan bahwa ayat ini
diturunkan bagi setiap orang yang berjuang di jalan Allah pada umumnya,
sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang
mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka…” (At-Taubah: 111)
Mereka adalah orang-orang yang diberi taufik (oleh Allah)
yang telah menukar diri mereka dan menjualnya serta mem-persembahkannya demi
mendapatkan keridhaan Allah dan mengharapkan pahalaNya, mereka mengerahkan
segala harga kepada Yang Maha Memiliki lagi Maha Menepati janji, yang Maha
Penyantun kepada hamba-hambaNya, di mana di antara kelembutan dan kasih
sayangNya adalah Dia membimbing mereka kepada hal tersebut, dan Dia berjanji
untuk menepati hal tersebut.
Dalam ayat ini Allah memberitahu bahwa mereka telah
menjual diri mereka dan mempersembahkannya, dan Allah juga mem-beritahu tentang
kasih sayangNya yang pasti akan membuat mereka memperoleh apa yang mereka
inginkan, dan apa yang mereka sukai, maka janganlah ditanyakan lagi tentang apa
pun yang mereka per-oleh dari kemuliaan dan apa yang mereka dapatkan dari
kemena-ngan dan kehormatan.
Demikian hendaknya setiap orang yang berjuang di jalan
Allah. Ia harus berani mengorbankan apa yang ada padanya biarpun tenaga, harta
kekayaan atau kedua-duanya menurut kemampuannya, demi untuk berhasilnya
perjuangan, sebagai pencerminan dari iman dan takwa yang ada di dalam hati
masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar